Perjuangan bangsa Indonesia terhadap penjajahan bangsa Belanda hampir dilakukan di seluruh wilayah Nusantara terutama di daerah yang menjadi pusat kekuasaan penjajah. Mereka mengorbankan seluruh jiwa dan raga untuk mengejar sebuah kata Merdeka. Sebelum tahun 1908, telah banyak bangsa lain yang ingin menjajah dan menguasai Indonesia.
Perbedaan Antara Kolonialisme dan Imperialisme
- Kolonialisme berasal dari kata colonus (colonia) berarti suatu usaha untuk mengembangkan kekuasaaan suatu negara diluar wilayah negara tersebut. Kolonialisme pada umumnya bertujuan untuk mencapai dominasi ekonomi atas sumber daya, manusia, dan perdagangan di suatu wilayah koloni pada umumnya adalah daerah - daerah yang kaya akan bahan mentah untuk keperluan negara yang melakukan Kolonialisme.
- Imperialisme adalah suatu usaha untuk memperluas kekuasaan suatu negara untuk menguasai negara lain. Imperialisme dapat dibagi menjadi dua macam : Imperialisme kuno dan Imperialisme modern. Imperialisme Kuno berlangsung sebelum revolusi industri dan bertujuan untuk memiliki kekayaan (gold), mencapai kejayaan (glory), dan menyebarkan agama (gospel). Spanyol dan Portugis adalah sebuah negara yang menjalankan Imperialisme kuno. Sementara Inggris merupakan negara yang menganut Imperialisme modern. Kolonialisme bertujuan untuk menguras habis sumber daya alam dari negara yang bersangkutan untuk diangkut ke negara induk. Sedangkan Imperialisme bertujuan unutk menanamkan pengaruh pada semua bidang kehidupan negara yang bersangkutan.
Mereka banyak memeras, menindas, dan meramas hak - hak rakyat Nusantara. Banyak perlawanan dari pahlawan - pahlawan kita yang masih bersifat kedaerahan. Muncul banyak tokoh - tokoh yang memegang andil besar dalam perlawananan terhadap penjajahan bangsa yang bangsa lain lakukan. Berikut kami ulas bersama Tokoh Perjuangan Nusantara Indonesia :
1. Perang Aceh ( Panglima Polim, Teuku Cik Ditiro, Teuku Ibrahim, Teuku Umar, dan Cut Nyak Dien Tahun1879)
Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel Van Antwerpen. Pada 5 April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmer Rudolf Kohler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Kohler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 diantaranya perwira.
Perang tersebut terjadi pada saat kerajaan Aceh masih merdeka. Dalam sebuah traktat London tahun 1824, Inggris dan Belanda diberi kebebasan untuk menaklukan Sumatera untuk Aceh. Oleh karena itu, Aceh mencari bantuan ke Turki dan menghubungi kedutaan Italia dan Amerika Serikat di Singapura, namun usahannya itu hanya sia - sia.
Belanda mendahului untuk menyerang Aceh pada tahun 1873 yang dipimpin oleh Mayor Jendral Kohler dalam insiden tersebut Belanda berhasil dipukul mundur, Bahkan Kohlar diketahui tewas. Pada akhir 1873 Belanda melakukan serangan lagi yang dipimpin oleh Mayor Jendral Swieten.
Untuk menghadapi perlawanan pasukan Aceh. Belanda menggunakan teknik konsentrasi stelsel (garis pemutusan), yaitu dengan menempatkan tentara - tentara Belanda pada benteng pemusatan. Namun ternyata Teuku Umar berhasil menyergap benteng - benteng tersebut sehingga pemusatannya dinilai gagal. Akhirnya Belanda menggunakan cara lain, yaitu dengan siasat adu domba oleh Dr.Snouck Hurgronje dalam bukunnya De Acehers yang diterapkan oleh Van Heutsz dengan membentuk pasukan gerak cepat.
Jendral Van Heutsz berhasil mendesak perlawanan Aceh. Teuku Umar terdesak ke Meulaboh dan akhirnya gugur pada tahun 1899, Panglima Polim menyerah pada tahun 1903, demikian pula dengan kesultanan Muhamad Daudsyah, sementara Cik Di Tiro sudah meninggal dan Cut Nyak Dien tertangkap pada tahun 1906 lalu dibuang ke Sumedang. Pada tahun 1904 perang Aceh dianggap selesai.
Catatan :
- Namun dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di pelosok kepulauan kita ini, kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah, berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh ; wanita - wanitanya pun memiliki keberanian dan kerelaan untuk berkorban yang jauh melebihi wanita - wanita lain.
2. Perlawanan Rakyat Makasar ( Sultan Hassanuddin Tahun 1660 -1669 )
Setelah menjadi sebuah kesultanan Makassar, kemudiaan mereka berusaha untuk mengislamkan berbagai kerjaan Bone pada tahun 1528 dan Bone membentuk persekutuan dengan kerajaan - kerajaan kecil lainnya seperti Kerajaan Wajo dan Kerajaan Soppeng, Kemudiaan persekutuan itu disebut dengan Persekutuan Tellum Pocco ( Tiga kekuasaan). Namun satu persatu kerajaan tersebut berhasil ditaklukan oleh Kesultanan Makassar. Selain menaklukan kerajaan tetangga, mereka memperluas pengaruh hingga ke bagian timur kepulauan Nusa Tenggara. Kesultanan Makassar (Gowa - Tallo) sempat menjalin kerja sama dengan kerajaan islam lainnya, khususnya kesultanan Mataram di Jawa. Hingga kini, Islam menjadi agama Mayoriats di wilayah Sulawesi Selatan. Penguasa terbesar dan terakhir dari Kesultanan Makassar adalah Daeng Mattawang yang lebih dikenal dengan nama Sultan Hasannudin (1653-1669). Dibawah kepemimpinan Hasannudin ini Makassar berkembang menajdi satu kekuasaan besar di kawasan timur nusantara. Sultan Hasannudin juga berhasil mengembangkan pelabuhannya dan menjadi bandara transit di Indonesia bagian timur pada waktu itu. Hassanudin mendapat julukan Ayam Jantan dari Timur. Karena keberanianya dan semangat perjuangannya, Makassar menjadi kerajaan besar dan terpengaruh berpengaruh terhadap kerajaan di sekitarnya..
Namun dalam kurun waktu yang cukup lama, Kesultanan Makassar (Gowa-Tallo) terlibat persaingan dengan Kerjaan Bone. Persaingan antara dua kekuatan pada akhirnya melibatkan kedua campur tangan dari Belanda dalam sebuah peperangan yang dinamakan Perang Makassar memanfaatkan situasi dengan berpihak pada Kerajaan Bone, sebagi musuh kesultanan Makassar dipimpin langsung oleh Sultan Hasannudin akan tetapi Hasannudin tidak bisa mematahkan kekuataan Kerajaan Bone yang dibantu oleh kekuataan Belanda yang berambisi menguasai Makassar. Kemudiaan Hasannudin dipaksa oleh VOC untuk menandatangani Perjannjian Bungaya (18 November 1667) sebagai tanda takluk pada VOC.
Perang Banjar bermula saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dikomandoi oleh Pangeran Intisari dan rakyat Banjar, dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari Menyerang Pos - pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke puncak Puruk Cahu.
Pertempuran yang berkencamuk itu semakin sengit dan berlangsung terus hngga ke medan perang. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Pangeran Antasari. Dan akhirnya Pangeran Antasari memindahkan pusat benteng pertahananya di Muara Teweh.
Berkali - kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun dia tetap pada pendiriannya. Ini tergambar pada surat yang ditunjukan pada Letnan Kolonel Gustav Verspijck di Banjarmasin pada tanggal 20 Juli 1861.
" dengan tegas kami terangkan pada tuan : kami tidak setuju pada usul minta ampun dan kami berjuan terus untuk terus menuntut Hak pusaka (Kemerdekaan) ."
Dalam peperangan, Belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapapun yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imblan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak ada satu pun yang mau menerima terhadap tawaran tersebut. Berikut orang - orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintahan Kolonial Belanda :
- Antasari dengan anak - anaknya,
- Demang Lehman
- Amin Oellah
- Soero Patty dengan anak - anaknya
- Kiai Djaya Lalana
- Goesti Kassan dengan anak - anaknya.
Perjalanan Akhir Perang Banjarmasin :
Setelah berjuang di tengah - tengah rakyat, Pangeran Antasari akhirnya wafat di tengah - tengah pasukannya tanpa menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 10 Oktober 1862 di tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia kurun lebih dari 75 tahun. Menjelang wafatnya dia terkena sakit paru - paru dan cacar yang di deritannya selama masa peperangan berlangsung di Bawah Kaki Bukit Bagantung, Tundakan. Perjuangan dilanjutkan oleh putranya yang bernama Muhamad Semam.
Setelah terkubur selama kurang lebih dari 91 tahub di daerah hulu sungai Barito. Atas keinginan rakyat Banjar dan keluargannya lalu pada tanggal 11 November 1958 dilakukan pengangkatan jenazah pengangkatan kerangka Pangeran Antasari yang masih utuh adalah Tulang tengkoraknya, tempurung, lutut, dan beberapa helai rambutnya. Kemudiaan kerangka ini dimakamkan kembali di Taman Makam Perang Banjar, Keluarahan Surgi Mufti, Banjarmasin.
Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagi Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh pemerintah Indonesia berdasarkan SK NO. 06/ TK/ 1968 di Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968. Nama Antasari diabadikan pada Korem 101 / Antasari dan julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi ANtasari. Kemudiaan untuk lebih mengenalkan Pangeran Antasari kepada masyarakat nasional, Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar Pangeran Antasari dalam uang kertas nominal Rp2.000.
4.Perlawanan Rakyat Maluku ( Kapitan Patimura Tahun1817)
Pattimura (Thomas Matulessy) lahir di Haria, pulau Saparua, Maluku 8 juni 1783 dan meninggal di Ambon 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun. Ia dikenal dengan nama Kapiten Pattimura adalah Pahlawan Nasional Indonesia dari Maluku. Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai mantan sersan militer sersan Inggris.
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasannya kepada pihak Belanda dan Kemudiaan Belanda menetapkan kebijakan poitik Monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemidahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongitochen), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa presiden Inggris di Ambon harus merundingkan terlebih dahulu pemindahan Koprs Ambon dengan gubernur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu - serdadu di Ambon harus di bebaskan dalam artian berhak untuk memasuki kawasan dinas militer pemerintahan baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam prakteknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan. Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura. Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, raja - raja Patih, Para Para Kapitan, tua - tua adat mengangkatnya sebagai pemimpin panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat kesatria (kabaressi).
Sebagai Panglima Perang, Kapitan Patimura mengatur startegi perang bersama pembantunya. sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja - raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan, dan membangun benteng - benteng pertahanan. Kewibaanya dalam kepemimpinannya diakui secara luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menetang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan Kerajaan Ternate dan Tidore, raja - raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi oleh Belanda dengan kekutan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jendral untuk menghadapi Pattimura.
Pertempuran - pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para panglimannya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebook, Philip Latuhamina dan Ulupaha. Pertempuaran yang menghancurkan Belanda tercatat seperti perebutan Benteng Belanda Duurstede di Saparua, pertemuan di pantai Waisisil dan Jasirah Hatawano, muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai pahlawan perjuangan Kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia. Pahlawan Indonesia.
5. Perang Bali ( Gusti Ketut Jelatik Tahun 1846 - 1868)
www.Kajianon.blogspot.com |
I Gusti Ketut Jelantik adalah pahlawan nasional Indonesia. Dia mendapatakan penghargaan berupa gelar Pahlawan Nasioanal Indonesia menurut SK Presiden RI NO.007/TK/tahun 1993 karena memang ia layak untuk disematkan pada berkat usahannya yang tetap teguh unutk membela tanah air atas kekuasaan Belanda kala itu. Awal mulanya Perlawanan rakyat Bali bermula karena pemerintah kolonial Hindia Belanda ingin menghapuskan tawan karang yang berlaku di Bali, yaitu hak bagi raja - raja yang berkuasa di Bali untuk mengambil kapal yang kandas diperairannya beserta keseluruhannya. Pada saat itu Belanda berusaha memanipulasi Rempah - rempah di Bali dan melalui Pelayaran Hongi, Kapal Belanda Karam di Bali. Kapal tersebut langsung ditawan oleh kerajaan Buleleng. Ucapannya yang terkenal ketika itu ialah " Apapun tidak akan terjadi. Selama aku hidup tidak akan mengakui kekuasaan Belanda di Negeri ini". Perang ini berakhir sebagai Puputan, seluruh anggota kerajaan dan anggota rakyatnya bertarung mempertahankan daerahnya sampai titik darah penghabisan. Namun akhirnya ia harus mundur ke Gunung Batur, Kintamani. Pada saat itu ia gugur. Setelah dia wafat, Perjuangan rakyat - rakyat Bali mulai mengalami kemunduran. seluruh Bali dapat dikuasai dengan mudah hanya Bali Selatan Saja yang masih melakukan perlawanan.
6. Perang Diponegoro ( Tahun 1825 - 1830)
Perang Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan sebutan (Perang Jawa) merupakan suatu perang besar yang terjadi selama kurun waktu 5 tahun lamanya. Di pulau Jawa Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah terjadi dialami oleh Belanda selama masa kependudukannya di Nusantara, melibatkan pasukan Belanda di bawah pemimpinan Jendral Hendrik Merkus de Kock yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Akibatnya perang ini, penduduk Jawa tewas hingga mencapai 200.000 jiwa, sementara korban tewas pihak Belanda berjumlah sekitar 8.0000 jiwa tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Akhir perang ini menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.
Berkebalikan dari perang yang dipimpin oleh Raden Ronggo sekitar 15 tahun sebelumnya pasukan Jawa juga menempatkan masyarakat Tionghoa di tanah jawa sebagai target penyerangan. Namun, meskipun Pangeran Diponegoro secara tegas melarang pasukannya untuk bersekutu dengan masyarakat Tionghoa, sebagian pasukan Jawa yang berada di pesisir utara (sebelah Rembang dan Lasem) menerima bantuan dari pihak Tionghoa setempat yang rata - rata beragama Islam.
Jalannya Perang Diponegoro :
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan -pasukan infantri, kavaleri, artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam frontal ) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertemuan berlangsung sedemikan sengitnya sehingga bila suatu wilayah dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur - jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh - puluh kilang mesiu dibangun di hutan - hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus menerus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak waktu, kondisi medan perang, curah hujan menjadi menjadi berita utama karena taktik dan strategi yang jitu dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan -serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan - bulan penghujan ; para senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha - usaha untuk melakukan gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak nampak" melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan pasukan dan menyebarkan mata - mata dan provokator mereka bergerak di desan dan kota ; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pangeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan mengguanakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo, pemimpin spritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudiaan Pangeran Mangkubumi dan panglima utamannya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 maret 1830, Jendral De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditanggkap dan diasingkan ke Manado, Kemudiaan dipindahlan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsa Jawa. Karena bagi sebagiaan orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, konon keturunana Diponegoro tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton hingga Sri Sultan Hamengkubowono IX memberi amnesti bagi keturunana Diponegoro dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka tanpa rasa takut akan diusir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar